KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF
Tulisan ini aku muat berdasarkan hasil BIMTEK Guru Pendamping Khusus yang diselenggarakan oleh Kemendikbud melalui Sim PKB. Kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan Guru Pendamping Khusus diberbagai daerah. Salah satunya di Sekolahku tempat aku mengajar. Kebetulan sudah 3 tahun sekolahku diminta untuk menerima siswa inklusif. Untuk memahami akan ada 6 infomasi yang akan saya sampaikan dan semua sumber rujukan diperoleh dari kegaitan tersebut. Yang akan saya sampaikan tentang:
- Konsep Dasar Pendidikan Inklusif
- Keberagaman Jnais Kebutuhan Peserta didik
- Bentuk layanan Pendidikan Inklusif
- System layanan pembelajaran
- Pengenalan program kebutuhan khusus
- Sistem dukungan Pendidikan Inklusif
Untuk
pertemuan ini kita bahas dulu tentang Konsep Pendidikan Inklusif ya …
Pendidikan
inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan
khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh
para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Berdasarkan
batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan
yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Penyelenggaraan
pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi
kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses
identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih
dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang
sesuai dan obyektif.
Landasan Pendidikan Inklusif
Kebijakan
implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan
semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan
inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.
a.
Landasan Filosofis
Terkait dengan
landasan filosofis, Abdulrahman
dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis
penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima
pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi,
yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan
manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi
tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan
perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan,
kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal
diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat
tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun
dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk
membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
b.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis tentang pendidikan
inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif
memiliki kekuatan hukum untuk
dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar
hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945,
Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa
“’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam
Undang-Undang Nomor 23
c.
Landasan Empiris
Terkait dengan landasan empiris,
hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif
hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat
(Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker
(1985/1986) terhadap 11
buah penelitian, dan
Baker (1994) terhadap
13 buah
penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik
maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.
Pendidikan Segregasi, Pendidikan
Terpadu dan Pendidikan Inklusif
Pendidikan
inklusif hanya merupakan salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan
pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai
berikut.
a. Sekolah segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang
memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di
Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau
Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A
(untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak
tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan
lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB,
SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang
digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik
kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada
sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini
antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena
lingkungan pergaulan yang terbatas.
b. Sekolah terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti
pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan
dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler
untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan
dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang
harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata
lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem
yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu
ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak
berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.
c. Sekolah inklusif
Sekolah inklusif merupakan
perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak
sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara
optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum,
sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai
pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan
pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu
peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem
persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus
maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan
kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai
perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang
berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
Komentar
Posting Komentar